Senin, 14 Januari 2013

Jika Seorang Pemimpi Mati

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah membuat sebuah rencana hidup yang bisa dibilang begitu sangat rinci untuk seorang yang bahkan belum menghasilkan karya apa-apa. Rencana itu saya buat ke dalam sebuat tabel, dan tiap kolom tabel itu berarti rentang 1 tahun dari hidup saya. Jika rencana mati saya adalah di umur 65 tahun, maka total kolom tabel yang saya isi adalah angka 65 dikurangi umur saya saat itu.



Saya cuma ingin mengenang, bukan menjelaskan secara detail apa yang saya tulis pada tiap kolom yang mewakili satu tahun hidup saya tersebut. Karena jujur saja saya sendiri lupa detailnya, bahkan saya tidak tahu keberadaan kertas tersebut. Walaupun sebenarnya tabel rencana hidup tersebut sempat mempengaruhi saya beberapa waktu setelah itu. Waktu memang penghapus kualitas nomor wahid untuk sebuah ingatan, juga cairan yang paling ampuh untuk melunturkan semangat. 

Saat ini sudah sekian tahun berselang, sedikit banyak kilatan-kilatan yang saya tulis waktu itu mempengaruhi diri saya hingga sekarang. Tidak detail memang, tapi saya selalu diingatkan bahwa saya pernah memiliki cita-cita yang sangat besar. Cita-cita yang jika semua itu tercapai, maka tidak hanya nasib saya yang akan berubah, tapi kehidupan sosial budaya di negara ini. Haha, siapa pun boleh membayangkan apa yang sebetulnya saya tulis saat itu.

"Tidak ada hukuman terberat bagi seorang pemimpi sejati, selain dia harus mati bersama mimpi-mimpinya." Saya tulis dengan menggunakan tanda kutip, karena saya tidak yakin apakah kata-kata ini betul berasal dari pikiran saya sendiri. Terserahlah. Tapi bolehlah saya akui memang saat ini saya seorang pemimpi. Berkali-kali saya bermimpi, bercita-cita, dan ketika saya terbangun saya tidak pernah melakukan apa-apa. Saya bermimpi jadi seorang penulis, dan selesai saya bermimpi saya malah menyalakan telivisi. Saya bermimpi jadi seorang online trader, setelah itu saya langsung menyimak gosip-gosip sampai meler.

Bermimpi itu ibarat melihat gunung. Gunung itu indah, tak banyak orang yang membantah. Namun yang betul-betul berjuang untuk menyaksikan keindahan gunung secara lebih dekat tidak banyak. Saya pernah menginjak puncak salah satu gunung merapi di Sumatra, dan sensasinya begitu luar biasa. Saya menangis, sujud, dan tak ingin banyak bicara. Cukup saya dan selebihnya alam. Begitulah cara paling khusyu menikmati sebuah perjuangan. Berkaitan dengan mimpi, saya ingin bertanya pada diri saya sendiri: Jika saya akan merasa sempurna dengan cara mewujudkan mimpi, mengapa saya harus takut menjadi sempurna?

Saya seorang pemimpi sejati, dan saya juga seorang pendaki. Saya berhasil memuncaki sebuah gunung dan saya tau bagaimana bahagianya saya saat itu. Apakah terlalu susah untuk memperjuangkan sesuatu yang imbalannya adalah kepuasan batin yang tak berhingga?

Untuk seorang pemimpi seperti saya, takutlah demi satu hal: Mati, dan hanya membawa mimpi.


Sumber Gambar:
http://pixels.pixeltango.com/wp-content/uploads/2012/10/the-Dreamer.jpg
http://mila2day.files.wordpress.com/2008/03/cpt-night_i-00000.jpg


Tidak ada komentar:

Posting Komentar