Selasa, 08 Januari 2013

Membaca Jakarta di Saat Hujan

Di Jakarta, ketika hujan turun, debu yang tadinya berseliweran akan turun bersama derasnya air. Hilang dilalap butiran air, lalu hanyut ke selokan-selokan penuh sampah. Kuyu kelopak bunga dalam pot pinggir jalan, kembali merekah. Hutan beton sumringah, setelah seharian menantang matahari. Jakarta seperti membasuh muka.


Kota ini memang indah dinikmati di saat hujan. Saat dimana saya bisa menangkap warna biru kelabu perpaduan mendung awan dan dinginnya hujan, bukan merah kecoklatan kongkalingkong matahari dan asap beracun. Di awal hujan turun jika kebetulah saya berada di pinggir jalan, maka saya akan melihat bagaimana jalanan beraspal beton mengeluarkan asap di sepanjang jalan. Jalanan seperti terbakar, bahkan baunya pun seperti berasal dari sesuatu yang terpanggang. Saya penasaran, dan ingin suatu saat menjajal tapak kaki saya    pada jalanan di tengah hari. Itu pun kalau saya tidak terlena pada keseharian yang menjemukan.

Jakarta indah ketika hujan. Hujan yang membuat jalanan begitu dramatis. Suasana yang terbangun menjadi begitu filmis. Lupakan sejenak tentang hiruk pikuk kota ini. Kota yang dimiliki oleh manusia. Kota yang memiliki daya tarik paling memukau. Kota semua ada, ada untuk semua. Ada duit, ada artis, ada pejabat, ada tikus, ada mobil, ada macet, ada pengamen, ada profesor, ada banjir, ada kemegahan, ada kekuasaan. Ada semua.

Hujan seperti hipnotis terkadang. Berapa banyak orang-orang yang saya temui di jalan atau kebetulan berteduh di suatu tempat, saya dapati seperti melihat sesuatu yang bukan berada dalam jangkauan penglihatannya. Memang seperti melihat butiran hujan. Tapi siapa orangnya yang matanya begitu cakap hingga bisa menangkap tiap butir tetes hujan deras yang jatuh? Kalau tidak ada, apa yang sebenarnya ada di mata mereka? Mereka seperti terhipnotis. Hujan yang menghipnotis. Walau sejenak, tetap saja mereka dan saya sering terhipnotis.

Di Jakarta semuanya ada. Namun kadang semuanya seakan kosong ketika manusia mulai merenung akan keberadaan mereka sendiri. Mungkin hujan turun untuk menghipnotis. Namun secepat hujan menjadi gerimis,   secepat itu pula Jakarta berubah warna. Debu kembali berpacu, jalanan kembali terbakar, dan Jakarta kembali pada semua kesempurnaannya.




2 komentar:

  1. morning...
    hujan memang seperti hipnotis
    kau bisa menjadi lebih puitis atau justru melemah dan menarik selimut karenanya
    ya nggak sih?

    BalasHapus
  2. haha bener, tragisnya yang sering terjadi malah tragedi yang kedua: molor. btw makasih ya udah mampir. tamu pertama saya.

    BalasHapus